Oleh : Tegar KKWP
Di dunia yang terus berjalan dengan logika untung-rugi, banyak orang masih menggantungkan cinta pada konsep “tulus tanpa syarat.” Seolah cinta yang benar harus buta, harus rela memberi tanpa pernah menuntut, dan harus bertahan tanpa alasan yang jelas. Tapi benarkah cinta seperti itu masih relevan di zaman ini?
Cinta, seperti halnya bentuk relasi lainnya, seharusnya tetap berada dalam kerangka kewarasan. Bukan berarti menjadi dingin atau transaksional semata, tapi mengakui bahwa hubungan yang sehat adalah hubungan yang saling memberi, saling menguntungkan secara emosional, fisik, dan bahkan spiritual.
Bayangkan jika seseorang terus memberi cinta, perhatian, dan pengorbanan, tapi tidak mendapatkan timbal balik yang setara. Apa itu tetap cinta? Atau justru bentuk penyiksaan emosional yang dibungkus kata “ketulusan”?
Cinta yang waras mengerti batas. Ia tahu kapan harus bertahan dan kapan harus pergi. Ia tidak bertahan dalam hubungan yang merusak dengan alasan “sudah terlanjur cinta”. Cinta yang waras sadar bahwa mempertahankan sesuatu yang tidak memberi nilai apa pun hanya akan menjadi beban.
Dalam konteks hubungan suami-istri, misalnya, cinta bukan hanya tentang pelukan manis dan kata sayang. Ada tanggung jawab, ada pembagian peran, ada kebutuhan biologis dan emosional yang harus dipenuhi. Jika salah satu pihak terus memberi tanpa menerima, hubungan itu akan timpang dan akhirnya runtuh.
Lalu, bagaimana dengan sisi spiritual? Bahkan iman sekalipun, dalam kacamata kewarasan, adalah bentuk keterikatan antara makhluk dan pencipta yang memberi manfaat: ketenangan, tujuan hidup, dan harapan. Tanpa itu, iman hanya akan menjadi rutinitas kosong.
Apakah cinta dalam kewarasan menghapus romantisme? Justru sebaliknya. Ia membuat cinta lebih tahan lama. Karena yang dilandasi logika akan lebih kuat menghadapi badai daripada cinta yang hanya berdiri di atas emosi sesaat.
Jadi, jika kamu mencintai seseorang, jangan hanya bertanya “seberapa tulus aku mencintainya?”, tapi juga, “apa yang aku dapat dari mencintai dia?” Dan sebaliknya, “apa yang dia dapat dari mencintaiku?”
Karena cinta bukan hanya soal perasaan… Tapi juga soal keseimbangan. Dan hanya cinta yang waras yang mampu bertahan selamanya.