Cerpen karya : Muhammad Lutfi
Editor : Aji Sopian Nugroho
Sebuah kapal masih terombang-ambing di lautan. Di lautan yang luas dan tak kenal orang. Kapal berisi beberapa manusia itu diguncang ombak. Beberapa ikan dan burung terbang melintasi air lautan. Mereka berbeda dengan manusia.
Manusia adalah mahluk daratan yang sulit untuk hidup di laut, bahkan tidak bisa hidup di laut. Manusia hanya akan bertahan beberapa jam saja jika sudah terkena angin lautan dan ombaknya yang menakutkan. Ombak bergulung-gulung menerpa kaki kapal.
Kapten kapal yang gagah berani, keluar dari dalam kapal. Dia nyalakan cerutu warna coklat dan besar itu, sambil melangkah ke depan. Di lihatnnya lautan yang luas dan tak bertepi. Kapal yang dinaikinya itu berada di tengah-tengah samudra. Warna lautan yang biru itu, menandakan betapa penuh sihirnya lautan.
Warna biru lautan itu menunjukkan kalau lautan itu dangkal dasarnya dilihat dari permukaan. Tetapi, bila ada yang berani loncat ke lautan, dia akan menemukan dasar yang sangat dalam dari lautan yang luas.
Seorang awak kapal, sambil membawa sebuah botol minuman keluar menemui Kapten. Dia melangkah ke depan, menuju ke arah Kapten. Dia tenggak minuman itu, sambil memandang ke lautan yang luas.
“Angin masih kencang, Kapten!”
“Aku sudah tahu. Lagipula ini lautan. Angin selalu kencang.”
“Angin telah menerjang kapal kita, Kapten!”
“Kapal kita, kapal yang kuat! Angin tidak akan mampu membuat kapal kita sempoyongan.”
“Saya minum dulu, Kapten.”
“Ambilkan minuman untukku!”
Awak kapal itu kembali ke dalam. Mengambil sebuah botol minuman yang masih baru di dalam sebuah peti. Dia ambilkan minuman itu untuk Kapten. Dia melangkah ke luar kembali, menemui Kapten yang masih memandangi lautan.
“Ini minuman untukmu, Kapten.”
“Temani aku minum! Aku ingin kamu tahu bagaimana menjadi seorang pelaut sejati!”
“Bagaimanakah itu, Kapten?”
“Kamu harus lebih kuat dari angin! Kamu harus lebih kencang dari ombak! Kamu harus lebih dalam dari lautan!”
“Dalam…”
“Kamu harus memiliki keteguhan yang kuat jika sudah berani berlayar di atas kapal!”
“Saya sudah memiliki itu, Kapten.”
“Belum! Kamu belum memiliki itu!”
Awak kapal itu sudah merasa memiliki keteguhan yang kuat. Dia sudah berhasil melewati karang dan ombak lautan. Dia sudah berhasil melewati garangnya angin lautan. Tetapi, Kapten berkata lain.
“Seorang pelaut, harus siap mati!”
“Saya siap, Kapten.”
“Belum… kamu belum siap!”
“Saya sudah siap untuk mati di lautan , Kapten! Kapanpun itu saya siap.”
“Kamu bodoh!”
“Saya…”
“Iya… kamu masih naif! Tidak ada orang yang mau mati sia-sia. Seorang pelaut tidak akan mau mati di lautan!”
Kapten memberi tahukan padanya tentang pelaut. Pelaut tidak boleh takut dengan kematian. Pelaut tidak boleh menghindar dari maut. Bagi pelaut, kapal adalah badan. Bagi pelaut, lautan, adalah rumah. Awak kapal masih keheranan dengan pernyataan-pernyataan Kapten. Dia bertanya sesuatu pada Kapten.
“Apakah… Kapten tidak takut dengan mati?”
“Aku tentu takut. Itu normal sebagai manusia yang memiliki kehidupan. Tetapi…”
“Tetapi…”
“Tetapi aku sudah singkirkan rasa takut itu. Aku sudah kubur rasa takut itu!”
“Di mana, dikubur di mana, Kapten?”
“Kamu bodoh! Itu hanya pepatah!”
“Aku sudah menguburnya di sebuah pulau.”
“Bolehkah saya ke sana suatu hari?”
“Ke mana?”
“Ke sebuah pulau untuk menemukan ketakutan Kapten yang terkubur.”
Kapten tertawa terkekeh-kekeh. Awal kapal muda itu memang masih polos dan naif. Apa yang diucapkan Kapten hanyalah suatu kiasan. Tetapi dia benar-benar menganggap kalau Kapten pernah mengubur ketakutannya di sebuah pulau.
“Boleh! Ketika kamu sudah memiliki kapalmu sendiri!”
“Kapten tidak mau mengantarkanku?”
“Dengan kapalku ini, aku tidak akan pernah mengantarkanmu ke pulau itu!”
“Kenapa…”
“Karena pulau itu adalah aku sendiri.”
“Kapten…”
“Bagi seorang pelaut, daratan dan pulau hanyalah persinggahan. Dan aku memiliki pulau itu dalam diriku. Diriku yang lain adalah persinggahan.”
“Persinggahan…”
“Diri manusia yang lain adalah persinggahan. Misal, kamu memiliki hal yang kadang memacu semangat dan emosimu. Di lain itu pula, kamu memiliki hal yang bisa membuat kamu tenang dan berani. Itulah yang kumaksudkan!”
“Saya mengerti, Kapten.”
“Kamu harus mengerti!”
“Siap, Kapten!”
“Kamu harus selalu siap di lautan!”
Angin semakin kencang. Lautan semakin berkilat-kilat. Ombak semakin menggulung-gulung badan kapal. Mereka berdua terombang-ambing di atas kapal. Dari sisi kiri mereka, awan hitam dan guntur sudah mengepul. Sebuah kegelapan telah menyertai mereka. Kini, mereka menghadapi kenyataan sebagai pelaut. Mereka siapkan mental sepenuhnya.
“Kemudi!”
“Siap, Kapten!”
“Kemudikan kapal ini berbelok ke kanan! Cepat!”
“Laksanakan, Kapten!”
“Tambah kecepatan, semakin cepat! Cepat! Badai akan menerkam, kita harus pergi menjauh! Bergegas!”
“Siap, Kapten!”
Kapten memimpin perlawanan di atas kapal menghadapi badai yang akan menghantam kapal itu. Dia pimpin pelarian di atas laut. Berlari menjauh dari badai yang gelap.
“Kapten!”
“Iya…!”
“Layar kita, Kapten!”
“Aku akan membuka layar, kamu tetaplah kendalikan kemudi!”
“Siap, Kapten!”
Kapal itu sudah berbelok. Tetapi kecepatan kapal lebih cepat kecepatan badai lautan. Badai yang gelap itu mengarak lautan. Ombak dan angin menjadi gelap. Guntur kadang terdengar bergemuruh di atas kapal. Ombak sudah semakin mengganas. Badan kapal itu semakin diguncang. Semakin diombang-ambingkan lautan yang sedang marah.
Percikan lautan sudah mengguyur isi kapal. Kapten dan awak kapalnya sudah terguyur basah. Ditambah pula hujan badai dari awan yang sudah mendekat itu. Mereka semakin terguncang.kapal semakin menjauh dari badai. Kapten, sedang membuka sayap layar kapal, untuk menambah kecepatan kapal berlari.
“Sudah kuturunkan layar!”
“Siap, Kapten!”
“Kemudikan dengan benar!”
“Siap, Kapten!”
Kapal semakin bertambah kecepatannya. Angin yang datang menggebu-gebu itu menguntungkan dua pelaut yang sudah membuka layar kapal. Angin semakin mendorong kapal mereka. Terlihat ikan lumba-lumba berenang meloncat-loncat di sisi kapal. Lumba-lumba itu berenang lebih cepat dari kapal. Mereka meloncat-loncat mengiringi kapal pelaut.
Kapten merasa kapal tidak melaju dengan kecepatan yang dia inginkan. Kapten berpendapat bahwa awak kapal itu sedang main-main mengemudikan kapal. Dia masuk ke dalam kapal. Kapten mengambil alih kemudi kapal.
“Biar aku saja yang mengemudikan kapal ini!”
“Siap, Kapten!”
Awak kapal yang masih muda itu menenggak minuman kembali. Dia duduk di bawah kemudi, menyaksikan Kapten menantang badai lautan sendirian. Seluruh tubuh dua pelaut itu sudah digerayangi oleh angin dan air. Mereka sudah basah dan lengket karena air kautan yang mengandung garam.
Kapten menengok ke belakang kapal. Dia melihat badai itu bertambah pula kecepatannya. Dia merasa, percuma saja membuka layar kapal. Badai itu semakin menambah kecepatan seakan ingin memakan kapal di hadapannya.
“Kapten! Badai semakin mendekat!”
“Aku tahu!”
“Kita akan karam, Kapten!”
“Belum tentu!”
“Kapten!”
“Aku sudah hidup berpuluh tahun di lautan. Tidak ada yang sanggup membuat aku karam di lautan!”
“Badai semakin mendekat, Kapten!”
“Tenggak minumanmu kembali, supaya kamu lebih tenang!”
“Siap, Kapten!”
Kapten semakin menambah kecepatannya. Dia susuri lutan yang liar itu. Dia ikuti kemana lumba-lumba itu pergi. Kapten melepaskan topinya. Dia basuh mukanya dengan air di wajahnya. Dia pandangkan mata ke depan. Kapten melebarkan kerahnya. Kali ini, dia akan benar-benar bertarung. Mempertaruhkan nyawanya dan anak buahnya.
“Kapten!”
“Aku tahu!”
Awak kapal itu tahu kalau dia tidak akan bisa selamat dari kejaran badai tersebut. Badai di belakangnya itu akan benar-benar mengahncurkan kapal yang dinaikinya. Kapten semakin semangat memacu kemudi kapal.
“Kapten, aku tidak ingin mati!”
“Kamu tidak akan mati hari ini!”
“Kapten!”
“Pegang kakiku! Kamu akan tahu kalau aku tidak gemetar menghadapi badai!”
“Siap, Kapten!”
Dua pelaut itu sekarang benar-benar sudah tak gentar menghadapi terkaman badai. Badai di belakang mereka, sekarang jaraknya cuman sehasta dengan kapal yang dinaiki dua pelaut itu. Badai itu sudah membuka mulut. Badai itu sudah mulai menaikkan gelombang air laut. Kali ini, kapal itu akan benar-benar karam di lautan.
“Kita loncat, nak!”
“Loncat…”
“Iya, kamu pegang bajuku! Kita akan loncat! Kapal ini tidak akan selamat.”
“Siap, Kapten!”
Mereka benar-benar meloncat dari atas kapal. Badai itu melahap kapal menjadi puing-puing.kedua pelaut itu terseret arus lautan. Mereka diterjang lautan entah kemana. Dalam terjangan lautan itu, awak kapal muda tetap memegangi baju Kapten. Dia tak ingin berpisah dengan Kaptennya. Mereka mungkin akan terdampar di sebuah pulau, atau di sebuah pantai, teluk, atau bahkan akan menemukan kapalnya kembali.
Pati, 2020