Penulis: Suradin
Dinda itu nama panggilanmu. Lengkapnya Dinda Safira Apriliani. Semua teman-temanmu memanggil dengan nama itu. Kau pun senang dengan panggil itu. Dan kini kau tetap dipanggil Dinda walau namamu tidak sependek itu. Tapi sejak engkau pertama kali mengenal dunia. Saat ibumu menghadirkamu di dunia yang fana ini, kau langsung dipanggil Dinda. Jika budaya masyarakat dimana kau dilahirkan mengenal panggilan siwe untuk perempuan yang baru dilahirkan, namun tidak dengan dirimu.
Kau langsung dipanggil dengan nama Dinda dan sampai sekarang kau masih dipanggil dengan nama yang sama. Entah apa alasan kau lebih senang dipanggil Dinda. Bahkan saat engkau mendengar kata Dinda, engkau langsung menoleh. Senyum mengembang. Memberi rasa damai pada yang memandang. Engkau serupa bunga yang mengembang kala sapuan mentari menyapa semesta.
Tak pernahku lihat kau cemberut. Muram durja pada wajahmu yang serupa artis Intan Nuraini dengan lesun pipi yang menggoda. Tidak sedikit mengagumi rupamu yang mendamaikan hati. Serupa tanah gembur yang menumbuhkan benih-benih, tumbuh, rindang lalu memanyungi semesta. Semua merasa nyaman saat ada di dekatmu.
Semua tak pernah terusik jika berada disampingmu. Kau menerima semua orang dengan kelembutan sikapmu yang mengagumkan. Bagimu semua orang itu sama. Sama-sama ciptaan. Di adakan oleh yang ada. Hadir karena dihadirkan. Mewujud karena diwujudkan. Perbedaan hanyalah konsep segelintir orang yang ingin merasa lebih tinggi dari yang lain. Merasa diri hebat hanya karena ada label kuasa karena diberi kuasaan. Ada label harta karena memiliki kelebihan materi.
Bagimu hidup cukup mengikuti ajaran ilahi. Jika linglung saat menjalaninya, cukup kembali kepada yang kuasa. Pada ilahi yang tak pernah ada batas kekuasaannya. Pada pemilik semesta yang tak pernah tidur dan lelah mengatur ciptaannya. Padanya semua dikembalikan. Semua karena kehendaknya. Tak ada yang berkuasa di atas kuasanya. Semua tunduk dan bersujud padanya.
Bagimu hidup harus tetap dijalani. Harus siap dengan semua onak duri yang menerjang. Tidak ada yang benar-benar mulus. Tidak ada yang instan. Semua butuh proses. Butuh perjuangan tanpa pernah mengenal kata lelah. Kata mundur dan kata menyerah. Cukup mereka yang pernah yang menjadi pecundang karena tak pernah berani keluar rumah. Menjadi anak mama yang hidup dalam kemanjaan. Takut merantau lalu enggan menjalani hidup yang jauh dari kata kemewahan dan kemudahan. Cukup mereka yang tak berani keluar dari zona nyaman.
Mereka yang dikenal dengan generasi stobery. Generasi yang tak tahan dengan tantangan. Generasi yang gampang layu hanya karena sengatan matahari kehidupan yang sebenarnya akan lebih menguatkan. Mereka yang tidak berani menceburkan diri pada rimba raya kehidupan yang akan memberi hikmah dan pelajaran. Pada mereka kau memberi pesan agar menjadi kuat. Agar menjadi pribadi yang berani melawan arus kehidupan tanpa harus terus menerus menetek di ketiak kemanjaan rumah.
Kau tidak harus berteriak serupa demonstran untuk menyampaikan maksud. Kau juga tidak harus datang ke rumah ibadah untuk memberi informasi. Juga tidak kau lakukan dengan memaksa mereka dengan cara-cara otoriter untuk membuat mereka berubah. Bahkan kau menghindari bersikap menggurui kepada mereka yang tidak sejalan dengan jalan pikiranmu. Kau memiliki caramu sendiri. Sebuah cara yang mungkin tidak semua orang melakukannya.
Karena butuh sikap welas asih untuk bisa menerima semua orang dalam pergaulan. Orang akan memilah milah baru memilih kepada siapa dirinya akan diajak berteman. Jika tak sefrekuensi maka dihindarinya dari pergaulan. Memilih teman yang membuat hati tenang dan aman. Itu hal yang wajar dilakukan. Sangat rasional. Karena tidak semua orang bisa diterima menjadi teman pergaulan. Karena kadang ada konvensi yang tak terbahasakan sehingga memilih dan tidak memilih teman pergaulan.
Namun berbeda denganmu Dinda. Kau menerima semuanya. Kau berteman dengan siapa saja tanpa pernah membeda-bedakan latar sosialnya, warna kulitnya dan keyakinannya. Semua orang kau jadikan teman. Kau jadikan sahabat. Jika ke kantin kau yang inisiatif membayar tanpa harus menunggu respon temanmu untuk membayar. Kau sangat baik pada siapa saja. Karena itulah kau terlihat selalu bersama orang-orang. Tak sekali pun aku melihatmu duduk sendiri. Kau selalu dikerumuni.
Kau serupa gula yang selalu dicari dan dikerumuni semut. Juga serupa mentari yang tak pernah lelah menyapu semesta. Memberi kehidupan pada mereka yang membutuhkan. Tanpa pamrih. Tanpa ada niat terselubung di belakang tindakan-tindakan terpuji itu. Kau bukan politisi yang pura-pura baik hanya karena ingin meraup suara dari konstituennya. Bukan pula mereka yang haus akan pujian dari perbuatan baik yang mereka lakukan.
Paling tidak seperti itu penilaianku terhadap Dinda. Mungkin aku nampak berlebihan menilaimu, namun untuk saat ini, aku sulit untuk berpendapat berbeda. Aku menilai yang terlihat, yang nampak dalam pandangan. Dan bahkan hampir semua orang yang pernah mengenalmu serupa penilaianku terhadapmu. Mungkin hanya mereka yang iri, dengki yang berpendapat berbeda. Tapi, suatu hari engkau pernah bilang.
“Saya tahu tidak ada manusia baik yang akan benar-benar dianggap baik oleh manusia. Karena akan ada yang menilainya dengan pandangan yang tidak baik” ucapmu suatu hari.
Kau benar. Tetapi yang membuatku takjub bukan sekedar mendengar kau pernah mengucapkan kalimat bijak itu. Namun yang membuatku tidak berhenti berdecak kagum karena kau sudah bisa sebijak itu menyikapi kehidupan ini. Pemahamanmu sudah melampaui semua teman-temanmu. Biasanya kalimat sejenis diucapkan oleh mereka yang mendapat predikat atau label motivator.
Jika pun ada orang yang pernah mengucapkan kalimat yang sama seperti kalimatmu itu, tapi belum tentu ia mampu menerapkannya dalam hidupnya. Bahkan tidak sedikit orang mampu memotivasi orang lain dengan kalimat yang sama, namun belum tentu itu bisa dibuktikan lewat tindakan rill yang terukur. Karena tidak cukup dengan kalimat bijak, namun yang tidak kalah pentingnya adalah implementasinya.
Dan itu yang menarik darimu Dinda. Kau mampu mengejawantahkan kalimat itu lewat lakumu yang terukur. Kau membumikan kalimat yang ideal itu saat kau berhadapan dengan masalah. Dengan segala cobaan hidup yang kau jalani. Bahkan kau pernah bilang kepada temanmu yang pernah dirundung masalah. Bahwa siapa pun yang hidup pasti akan ada masalah. Persoalannya bukan bagaimana masalah itu muncul, tetapi bagaimana cara menyikapinya.
Setiap orang bisa saja menganggap tidak memiliki uang di kantong adalah sebuah masalah besar. Terlebih perempuan seperti dirimu Dinda. Tapi bagi sebagiannya lagi menganggap itu biasa-biasa saja. Ada uang tidak ada uang hidupnya santui saja. Toh ada saatnya uang akan ada. Jadi jangan terlalu menaruh kekhawatiran yang berlebihan. Bukankah rezeki sudah dijamin oleh yang maha kuasa. Tapi tidak sedikit orang, jangankan sudah tidak ada uang, tinggal sedikit saja serupa kiamat sudah dekat.
Aku meyakini sebagaimana dalam konsep psikologis, bahwa karakter seseorang sangat bergantung pada dimana dia dibesarkan dan lingkungan yang membentuknya. Benar saja, ternyata kau Dinda anak seorang guru yang terpandang di satu sekolah. Bapakmu adalah panutan bagi banyak guru di sekolah, tempatnya mengajar. Bahkan saking cerdasnya bapakmu pernah mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Karirnya di sekolah juga tidak kalah mentereng. Pernah menjadi kepala sekolah di dua sekolah. SMAN 1 Hu’u dan SMKN 1 Hu’u.
Jika ungkapan bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, mungkin bisa disematkan kepadamu. Selain cerdas, bapakmu juga baik. Suka membantu orang-orang yang sedang membutuhkan. Suka berbagi kepada mereka yang terlilit kesusahan. Sehingga tidak heran ketika menjadi orang nomor satu di sekolahnya, banyak guru-guru yang memuji cara kepimimpinannya.
Itu bahkan tidak lahir begitu saja, bapakmu adalah seorang pentolan organisasi di perguruan tinggi ternama di kota Makassar ketika masih menyandang gelar mahasiswa dulu. Itu pula yang ia praktekan ketika diberi tanggung jawab memimpin sekolah. Maka beruntunglah kau Dinda memiliki bapak yang hebat nan cerdas. Di kagumi semesta karena terobosan-terobosan yang ia lakukan semasa menjabat.
“Kenapa tahu” tanyamu suatu hari.
Selain junior dari bapakmu karena sama-sama pernah menimba ilmu di kota Daeng, aku juga adalah mantan siswanya. Bapakmu adalah guruku dulu ketika aku masih berseragam putih abu-abu. Aku tahu benar bagaimana cara mengajarnya, retorikanya, keluasan wawasannya. Makanya aku tak heran ketika karirnya melejit hingga menjadi kepala sekolah.
Dan tampaknya kau mewarisi sebagian karakter bapakmu. Aku melihat itu dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dan sebagai pembina ekskul jurnalistik di sekolah ini, aku akan selalu memperhatikan perkembangan siswa binaanku, termasuk kamu Dinda. Dan mungkin ini kesempatan baik yang biasa aku lakukan untuk membalas jasa baik bapakmu kepadaku.
Ketika aku mengatakan ini kepadamu. Kau tiba-tiba diam. Diam seribu bahasa. Nampaknya kau sedang mengenang almarhum bapakmu. Tiba-tiba kau menundukkan pandanganmu. Melihat tanah. Sesaat kemudian kau mendongak. Wajahmu tiba-tiba berubah. Ada kesedihan terlihat di sana. Bulir-bulir bening menetes di kelopak matamu. Melihatmu sedih aku merasa bersalah. Ingin rasanya menarik kembali kalimat itu. Namun sudah terlanjur.
Kepulangan bapakmu kepangkuan ilahi beberapa tahun yang lalu, membuat semua orang merasa kehilangan. Banyak yang tidak percaya apa yang terjadi terhadap bapakmu. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di puskesmas terdekat. Ia pergi selama-lamanya. Meninggalkan jejak jejak kenangan yang kini masih dikenang.
Dan ini kali pertama aku melihatmu tidak biasanya. Kau larut dalam kesedihan yang amat sangat akan kehilangan orang yang paling mencintaimu. Aku tahu tidak semua orang bisa menahan rasa kesedihan atas kepergian orang yang begitu menyangimu sepenuh hati. Dan bahkan pernah kau bilang kepadaku, bahwa bapakmu adalah pahlawanmu.
Dan kau pun tahu aku kehilangan kata-kata di saat situasi seperti ini. Ku biarkan kau larut dalam kesedihanmu yang amat dalam. Karena aku tahu kau akan kembali bangkit dan melihat masa depan dengan tatapan yang optimis. Bapakmu bisa saja pergi untuk selama-lamanya. Tapi motivasi dan semangat yang selalu meluap-luap akan selalu mengiri langkahmu. Perjalananmu masih panjang Dinda dan bapakmu di alam sana akan bangga ketika kau mencapai mega-mega kesuksesan. Semangat Dinda karena harimu ke depan akan lebih berwarna.