Sumbawa, Siasat ID – Seminar Budaya Tana Samawa merupakan salah satu rangkaian dari kegiatan Festival Budaya Sumbawa yang diselenggarakan oleh Wiwik Surya Utami, S.S., M.Pd., seorang dosen pada Program Studi Sastra Indonesia Universitas Teknologi Sumbawa. Pada kesempatan tersebut, Rektor Universitas Teknologi Sumbawa, Chairul Hudaya, P.hD., diminta untuk menjadi pembicara kunci. Kegiatan Seminar Budaya Tana Samawa tersebut mendapatkan apresisasi yang cukup dari berbagai kalangan. Peserta yang hadir adalah budayawan, peneliti, masyarakat, akademisi, praktisi, dan lain-lain. Kurang lebih sekitar 70 orang memenuhi ruang multimedia Sumbawa Technopark UTS, tempat semianr tersebut dilangsungkan. Kegiatan yang berlangsung Sabtu (11/11/2023) selama kurang lebih tiga jam tersebut menghadirkan tiga orang pemateri yang merupakan pengamat, peneliti, pelaku, dan penikmat budaya. Pemateri yang dimaksud adalah Mufti Jauhari, S.Pd.SD., Arif Rahzen, M.Sos., dan Rivaldi Ihsan, M,Sn.
Mufti Jauhari menjelaskan pentingya menjaga warisan budaya sebagai identitas diri. Pemateri pertama tersebut menyebutkan dua hal utama terkait pentingnya menjaga warisan budaya. Pertama, sebagai identitas fitrah intelektual yang bersumber dari akar dan pikiran. Kedua, untuk menjaga eksistensi diri dalam pergaulan masyarakat yang lebih luas. Kekhawatiran Mufti terkait identitas budaya Tana Samawa adalah hilangnya identitas budaya Samawa yang disebakan oleh minimnya apresisasi terhadap budaya sendiri. Sikap ikut-ikutan dalam beberapa aspek budaya seperti pakaian adat Sumbawa yang mulai dikombinasikan dengan atribut atau aksesoris dari luar Tana Samawa.
Selanjutnya, Arif Rahzen menyampaikan beberapa poin penting terkait budaya Samawa, yaitu pelindungan, warisan, dan disrupsi. Pada kesempatan tersebut, Arif Rahzen memaparkan bahwa pelindungan kebudayaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017. Pemajuan kebudayaan dapat ditingkatkan dengan melakukan perlindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan. Sumbawa sendiri memiliki dua warisan budaya takbenda yang telah ditetapkan yaitu barempuk (2020) dan barapan kebo (2023). Selain kedua warisan tersebut tercatat sejumlah warisan budaya takbenda lainnya, yaitu sorong serah (2010), cera labu (2011), ai beling (2018), genang (2018), kelingking (2018), sakeco (2018), sepat (2018), serune (2018), barapan kebo (2018), sampo ayam (2018), lala jinis-lalu dia (2018), kre alang (2020), pabasa (2020), gero saketa (2020), barempuk (2020), bakelung (2020), kue janda berenang (2020), barodak rapancar (2020), lawas (2020), sedekah ponan (2020), lar (2022), ratib (2020), tari nguri (2020), alang (2022), mangan roa (2022), malala (2022), nganyang (2022), ngumang (2022), nimung rame (2022), nuja rame (2022), satera jontal (2022), sira padeng (2022), tontonge (2022), kebo kamit (2022), rabanga (2022), dan taba (2022).
Rivaldi Ihsan, selaku pemateri ketiga menyuarakan satu poin penting yang berkaitan dengan penjagaan warisan budaya untuk masa depan yang lebih baik, yaitu melakukan apresisasi terhadap budaya itu sendiri. Apresiasi yang dimaksud dapat berupa atensi masyarakat pemilik budaya dalam menikmati, menonton pertunjukkan seni budaya secara langsung. Hal ini sebagai langkah kecil sederhana yang dapat dilakukan oleh masyarakat Sumbawa untuk menjaga warisan budaya agar tetap eksis di tengah masyarakat pendukungnya.(Rahmin Meilani Putri)