Penulis : Hasrul Jihad (Mahasiswa Prodi Hukum Universitas Teknologi Sumbawa)
Siasat.ID – Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana bagi bangsa dan negara untuk menjalankan demokrasi (Effendi, 2017). Namun demikian, dengan kondisi kebebasan berdemokrasi yang cenderung liar tidak terkendali belakangan ini membuat pelaksanaan pemilu menjadi cukup mengkhawatirkan. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan dan evaluasi dalam rangka memperbaiki sistem pemilu yang ada.
Pilihan sistem pemilu adalah soal selera politik, kemauan elite, dan kepentingan besar yang ingin dicapai. Pada prinsip dan filosofinya, semua sistem pemilu sama-sama memiliki peluang untuk diterapkan di Indonesia.
Sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup memang santer dibahas akhir-akhir ini. Perlu diketahui, sistem pemilu di Indonesia saat ini adalah berdasarkan aturan dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, sistem proporsional terbuka dan tertutup sudah pernah diterapkan dalam pemilihan umum. Namun untuk saat ini, sistem pemilu di Indonesia menerapkan sistem proporsional terbuka, hal ini termuat dalam Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017.
“Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”, itulah bunyi Pasal 168 ayat (2) UU Nomor17 Tahun 2017.
Meski begitu, penerapan sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup masih terus diperdebatkan menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Proporsional tertutup merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih hanya memilih partai politik saja. Artinya, kursi yang dimenangkan partai politik nantinya diisi oleh kandidat yang ditentukan partai. Dalam model proporsional tertutup penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut, sedangkan nomor urut ditentukan oleh partai politik.
Apabila partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah calon dengan nomor urut satu dan dua. Sebaliknya, proposional terbuka merupakan sistem pemilihan yang memungkinkan pemilih memilih salah satu nama calon. Dalam model proporsional terbuka calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak, yaitu calon yang paling banyak dipilih oleh pemilih.
Kedua system tersebut sama-sama memiliki kelibihan dan kekukarangan masing-masing, seperti contonya pada system Proporsional tertutup yang memiliki keunggulan yang dimana partai sebagai Lembaga politik memiliki otoritas dalam menentukan individu caleg untuk menjadi refresentasi partai dan kelompok masyarakat, sehingga partai politik memiliki garis instruksi yang kuat dalam mengawal kadernya yang menduduki kursi legislatif.
Selanjutnya system proporsional tertutup juga dapat menekankan biaya politik, sudah menjadi rahasia umum khusunya di Indonesia bahwa biaya politik bagi seorang caleg sangatlah mahal baik di tataran daerah bahkan ditatarn pusat sekalipun.
Namun demikian, sitem proporsional tertutup juga memilki kelemahan yang diamana pada sistem ini rakyat tidak bisa memilih secara langsung caleg yang nantinya akan mewakilinya pada lembaga legislatif. Interaksi caleg dengan warga akan relatif terbatas, karena motivasi caleg akan berkurang dan terkikis, terlebih caleg dengan nomor urut terakhir. Selanjutnya pada system ini caleg yang terpilih akan minim legitimasi dari warga.
Hal ini dikarenakan pemilih hanya mencoblos gambar partai dan partai yang akan menentukan siapa yang akan menduduki kursi legilatif. Dan yang paling mengerikan menurut saya pada system Proporsional tertutup ini merupakan bentuk dari kemunduran demokrasi, karena system ini melektakkan rakyat sebagai objek dari kontestasi politik, sehingga yang seharusnya kedaulatan di tangan rakyar tetapi justru menjadi kedaulantan di tangan elit. Dengan Bahasa lain, system ini memungkinkan terciptanya pasar gelap dalam tubuh dekomkrasi, yang dimana akan terdapat kesepakatan/konsensi di dalam partai.
Begitupun pada sistem propersional terbuka, yang dimana sistem ini dianggap sebagai sostem yang memenuhi standarisasi demokrasi. Dimana pemilih dapat memilih caleg secara langsung dan bebas. Syarat mutlak pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil diharapkan dapat mewujudkan wakil rakyat yang dapat dipercaya dan dapat menjalankan fungsi lembaga legislatif secara optimal.
Selanjutnya dalam system ini intensitas interaksi caleg dan warga semakin meningkat dan juga legitimasi caleg yang terpilih relatif kuat di kalangan masyarakat. Karena dengan memilih caleg secara lansung, tingkat masyarakat terhadap caleg terpilih akan meningkat. Sehingga peluang akses masyarakat untuk memperjuangkan dan pemenuhan hak-hak sosial-ekonomi akan terbuka.
Begitu pun juga sebaliknya system proporsional terbuka juga memiliki kekurangan diantarnya, Partai akan mengalami pengikisan pada penanaman nilai ideologisnya. Yusril Ihza Mahendra dalam sidang pleno MK Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 menilai keterpilihan suara terbanyak yang diusung oleh sistem proporsional terbuka secara langsung telah mengubah medan permainan pemilu yang seharusnya menjadi medan pertarungan program gagasan atau ide menjadi pertarungan orang-orang terkenal dan berkemampuan finansial.
Dikarenakan kader terkenal dan berkemampuan finansial ini menjadi magnet dari partai demi meraih suara terbanyak. Selanjutnya dalam system proporsional terbuka ini kemudian menjadi tantangan dalam pemilu sampai hari ini adalah tingginya biaya politik yang mahal. Kondisi ditandai dengan akan semakin agresifnya para caleg untuk mendulang kantong-kantong suara dengan berbagai kompensasi. Sehingga hal ini juga akan membuka potensi untuk terjadinya politik uang/money politic.
Bahkan transaksi politik (jual-beli suara) tidak hanya pada level pemilih, tetapi juga akan dapat merambah pada penyelenggara pemilu. Ini adalah konsekuensi dari para caleg yang akan mengamankan suaranya masing-masing untuk dapat kuantitas suara dalam mendapatkan kursi di dapil masing-masing.
Dalam rangka merepormasikan sikap mental para elit politik dalam berdemokrasi, Wijjanarko Puspoyo (2019) Mengusulkan beberpa rangka yang dapat dilakuakan, antara lain; Pertama, pentingnya pembaruan institusi politik agar berfungsi sebagai bagian dari partisipasi masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam hal ini berarti memberi peluang untuk berkembang menjadi civil society, suatu masyarakat yang selforganizing, sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Dalam kaitan itu, kebebasan dan kemandirian menjadi kunci utamanya.
Kedua, emansipasi dan partisipasi sebagai proses penyamaan kesempatan bagi warga dalam pengambilan kebijakan publik, termasuk proses pelibatan politik. Emansipasi dan partisipasi itu belum tercapai karena terhambat oleh kekuasaan yang bersifat personal dan unpredictable. Akibatnya, partisipasi hanya berlaku bagi mereka yang berada di lingkungan pengendali kekuasaan (rulling elit).
Ketiga, menanamkan pemahaman akan pentingnya hidup bernegara secara beradab. Pada studi politik, hal ini dikategorikan sebagai pemahaman kultural. Dalam alam demokrasi mestinya seseorang atau sekelompok orang bekerja gotong royong untuk memenuhi kepentingan mereka dalam bernegara. Sehingga, demokrasi dapat dipahami sebagai upaya mengembangkan saling pengertian di antara sesama warga, sehingga budaya politik menjadi penting untuk mengisi kelembagaan politik agar lebih demokratis dan beradab.
Selain itu, bagi para pemimpin, perlu ditanamkan pula bahwa berpolitik pada hakikatnya adalah bernegara, sementara bernegara adalah berkonstitusi. Siapa pun yang menjadi pemimpin, harus mampu mengawal dan menjalankan konstitusi negara. Upaya di atas perlu dikampanyekan terus-menerus agar menjadi bagian dari sikap mental para elite politik dalam menghayati dan mengamalkan demokrasi.
Muaranya akan meningkatkan kualitas demokrasi dan pengelolaan negara, serta memperluas keterlibatan masyarakat secara aktif dalam pengambilan keputusan publik. Pelibatan masyarakat dalam sistem pengelolaan negara ini lambat laun akan memacu terwujudnya sistem demokrasi dan membangun sistem politik yang berbasis pluralitas budaya.
Semua hal di atas menjadi tantangan berat bagi bangsa Indonesia. Tanpa pemilu yang berkualitas dan demokratis, hasilnya pasti dapat ditebak, hanya menghasilkan politikus badut yang tamak, serakah, dan hanya bernafsu memburu rente. Hal ini lah yang terjadi selama Indonesia merdeka (Puspoyo, 2019).
Baik sistem proporsional terbuka maupun proporsional tertutup seperti yang disampaikan di atas tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kedua sistem akan berjalan dengan adil dan baik ketika bertumpu pada basis moralitas politik yang baik pula. Moral etik politik menjadi modal yang kuat ketika dapat dapat menerjemahkan tujuan politik itu sendiri dalam institusi negara.
Seperti halnya Henry J. Schmandt dalam bukunya Filasafat Politik, merangkum pemikiran Plato tentang tujuan negara, bahawa Negara muncul karena ketidak cukupan individu untuk menyediakan kebutuhan baginya. Negara perlu untuk menetapkan pembagian kerja yang akan membawa keuntungan material semakin tinggi bagi individu.
Melalui pendidikan dan promosi seni dan ilmu pengetahuan, negara berupaya keras untuk membantunya dalam pengejaran intelektual dan kultural, dan melalui hukum-hukumnya negara berupaya untuk membimbingnya dalam jalan kebajikan moral. Tugas utama negara, sebagaimana diimpikan Plato, adalah untuk mengarahkan kehidupan manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan. (Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, 2002).
Melalui pendidikan dan promosi seni dan ilmu pengetahuan, negara berupaya keras untuk membantunya dalam pengejaran intelektual dan kultural, dan melalui hukum-hukumnya negara berupaya untuk membimbingnya dalam jalan kebajikan moral. Tugas utama negara, sebagaimana diimpikan Plato, adalah untuk mengarahkan kehidupan manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan. (Henry J. Schmandt, Filsafat Politik, 2002).