Semarang, Siasat ID – Crossdressing, atau praktik mengenakan pakaian yang biasanya diasosiasikan dengan gender lain, terus menjadi pembicaraan menarik di tengah masyarakat. Bagi sebagian orang, ini adalah bentuk ekspresi diri. Namun, tidak sedikit yang memandang fenomena ini melalui stereotip tertentu.
Dalam sebuah wawancara eksklusif, seorang individu yang menggunakan nama samaran “Keju” membagikan pandangannya tentang dunia crossdressing.
“Tidak semua crossdresser itu gay, tetapi yang crossdress minor itu udah jelas gay,” ungkapnya (25/1).
Pendapatnya ini menunjukkan adanya perbedaan persepsi tentang apa yang mendorong seseorang untuk mencoba crossdressing.
Keju, yang sudah lima tahun menjalani gaya hidup ini, mengaku awalnya terpengaruh oleh dorongan dari keluarganya.
“Awalnya tanteku bilang aku lebih cocok jadi cewek. Cuma coba-coba waktu itu. Tapi lama-lama aku nyaman dan merasa ini bagian dari diriku,” ungkapnya.
Menurut Keju, tekanan atau ekspektasi keluarga sering kali menjadi faktor yang memengaruhi seseorang untuk mencoba crossdressing.
“Ada juga keluarga yang pingin anaknya atau saudaranya coba tampil jadi cewek. Kadang mereka ingin lihat sisi lain kita,” tambahnya.
Namun, ia menegaskan bahwa crossdressing tidak selalu berkaitan dengan orientasi seksual.
“Ini soal eksplorasi identitas dan gaya, bukan soal siapa yang kita sukai. Banyak orang salah paham soal ini,” katanya.
Dr. Laras Widyaningrum, seorang psikolog yang berpraktik di Semarang, menjelaskan bahwa fenomena crossdressing bisa terjadi karena berbagai faktor.
“Dorongan keluarga, rasa ingin tahu, hingga kebutuhan mengekspresikan diri bisa menjadi alasan. Yang penting adalah mendukung seseorang menjadi dirinya sendiri, tanpa menghakimi,” jelasnya.
Meski begitu, stigma di masyarakat masih menjadi tantangan besar bagi crossdresser. Keju sendiri mengaku pernah menghadapi diskriminasi dan komentar negatif.
“Tapi aku pikir, yang penting aku gak merugikan orang lain. Aku nyaman, aku bahagia, itu cukup buatku, ” katanya.
Dengan semakin banyaknya individu seperti Keju yang berani berbagi cerita, diharapkan masyarakat menjadi lebih terbuka terhadap keberagaman. Semarang, seperti kota-kota lainnya, perlahan mulai menjadi ruang yang lebih inklusif bagi semua ekspresi identitas.
“Yang penting kita saling menghormati. Biar semua orang bisa hidup sesuai dengan versi terbaik dirinya,” tutup Keju. (Muhammad Fahmi)