Sebuah Kritik Pertunjukan Seni Tari Fenomena Mendodos Pohon Sawit Masyarakat Ujung Gading Pasaman Barat Koreografer Wilda Ayu
oleh Rivaldi Ihsan
Minggu sore ini Kota Padangpanjang diguyur hujan tanpa henti-hentinya hingga pukul 19.30 malam. Serangakaian kegiatan ujian akhir semester ganjil di kampus ISI Padangpanjang telah dilaksanakan. Salah satunya ialah prodi seni tari sedang melaksanakan ujian akhir semester komposisi tari. Pertunjukan ujian di mulai dari tanggal 20-26 Desember 2018. Pada hari minggu malam ini berlangsung ujian komposisi tari di gedung Auditorium Boestanoel Arifin.
Peserta ujian komposisi prodi tari terdiri dari mahasiswa mahasiswi semester lima angkatan 2016. Ada pun pemahaman komposisi tari ialah sebuah karya tari yang bertema tentang fenomena sosial atau pengalaman empiris sang koreografer menjadi sebuah tema. Tentunya karya tari itu terdiri dari susunan-susunan gerak yang bercerita sesuai ide penciptaan sang koreografer dengan iringan musik tari sebagai pendukung atmosfer pertunjukan.
Ujian semester lima pertunjukan komposisi tari merupakan ujian mata kuliah wajib bagi mahasiswa dan mahasiswi tari sebagai tindaklanjut modal utama untuk menuju tugas akhir penciptaan seni tari atau pengkajian seni tari. Tepat pukul 20.00 malam pertunjukan dibuka oleh dua orang pembawa acara seorang pria dan seorang wanita. Pembawa acara itu mengucapkan terima kasih kepada dosen penguji, peserta ujian, dan penonton yang hadir pada malam ini.
Pembawa acara pun mempersilakan pertunjukan komposisi tari pertama yang berjudul Mendodos dengan koreografer Wilda AYU. Sinopsis ide penciptaan tari Wilda Ayu beranjak dari fenomena sosial masyarakat Ujung Gading Pasaman Barat. Di mana pengkarya tertarik dan terinspirasi dari kegiatan mendodos atau mengambil buah dari pohon sawit. Kebersamaan sesama petani terjalin dalam bekerja sehingga membuat pekerjaan cepat selesai semangat pun bertambah jika pekerjaan itu dilakukan secara bersama-sama sembari bersenda gurau sesekali.
Pada bagian pertama pertunjukan lampu dipadamkan sesaat terdengar suara ayam berkokok pertanda pagi. Bagi petani Ujung Gading pagi merupakan rutinitas untuk memulai memanen pohon sawit. Peristiwa pagi ini diawali dengan seorang penari pria memasukki arena pertunjukan membawa sebatang tongkat sembari bergerak perlahan-lahan dari tengah panggung. Kemudian ke sudut kanan dan sudut kiri panggung pertunjukan sembari mengamati pohon-pohon kelapa sawit mana yang layak untuk dipanen dan mana yang tidak layak dipanen. Saat penari pria mengamati buah pohon sawit itu disusul oleh dua orang penari pria untuk menari bersama.
Dua penari pria itu juga membawa dua tongkat untuk digunakan memanen buah sawit. Selama pertunjukan bagian awal ketiga pria itu bergerak secara bersama membentuk posisi horizontal, diagonal, dan lingkaran. Musik yang mengiringi ketiga penari ialah komposisi musik program yang terdengar melankolis nuansa alam. Sementara untuk mempertegas intensitas dan permainan dinamika menggunakan instrumen perkusi seperti gandang tambua dan wood block (kayu balok) sebagai penjaga tempo selama pertunjukan.
Pertunjukan selanjutnya tiga orang penari wanita berpakaian berwarna hijau memasukki arena pertunjukan. Pakaian wanita yang dikenakan penari serba berwarna hijau menghadirkan kesan sifat menyegarkan, membangkitkan energi diri, membawa ketenangan, menyeimbangkan emosi, dan suasana alam. Kesan dari pakaian warna hijau senantiasa menggambarkan bagaimana situasi perasaan petani pohon sawit yang sesungguhnya serba kekurangan dalam kehidupan kebutuhan keluarganya. Namun dihadapi dengan penuh energi semangat dan gembira dalam kehidupan ini.
Pada bagian kedua pertunjukan menggambarkan suasana rutinitas sehari-hari petani. Bagaimana penari pria dan penari wanita melakukan gerakan secara bersamaan secara teratur dengan pola lantai horizontal dan diagonal. Gerakan pertunjukan tari itu bercerita tentang kesepakatan di antara sesama penari. Gerakan itu menggambarkan tanya jawab komunikasi gerakan sesama penari untuk pembagian tugas. Penari pria mendodos mendodos pohon sawit sementara penari wanita mengambil hasil panen pohon sawit menggunakan ember hitam.
Pada bagian ketiga pertunjukan menggambarkan kebiasaan masyarakat petani Ujung Gading, yaitu mendodos sembari bersenda gurau disela-sela pekerjaan. Keenam penari bersenda gurau menggunakan bahasa mandailing. Tiga penari pria mendodos sawit sementara tiga wanita mengambil buah sawit yang telah jatuh dari pohonnya kemudian diletakkan di dalam ember masing-masing wanita. Senda gurau bagi petani berguna untuk menghilangkan rasa lelah setelah bekerja seharian penuh di kebun sawit.
Koreogfer Wilda Ayu mencoba menafsir ulang kembali perilaku-perilaku masyarakat petani pohon sawit di Ujung Gading. Ia mencoba menghadirkan perilaku-perilaku itu dengan gerakan-gerakan tari garapan baru di atas panggung pertunjukan. Namun ada beberapa yang perlu diperhatikan oleh koreografer. Terlihat beberapa penari berhati-hati dalam gerakan takut akan terjadinya kesalahan. Selain itu kurang kompaknya sesama penari terlihat sesekali pada bagian kedua dan ketiga gerakan.
Secara keseluruhan pertunjukan tari mendodos pada malam ini cukup memuaskan, pesan mendodos pohon sawit sampai pada penonton. Bagaimana peristiwa proses mendodos masyarakat Ujung Gading Pasaman dihadirkan kembali dengan bentuk garapan tari baru. Pengalaman empiris sang koreografer menggunakan metode eksplorasi gerak dan interpretasi dibalut dengan musik program sungguh menyajikan pertunjukan komposisi tari yang menarik perhatian penonton.