oleh Rivaldi Ihsan
Siapa yang tidak mengenal instrumen musik tiup saluang, hampir seluruh masyarakat Minangkabau mengetahui Saluang melalui pertunjukan bagurau yaitu bentuk seni pertunjukan sastra lisan dengan alat musik tiup Saluang. Saluang merupakan alat musik golongan aerofone berarti alat musik yang bersumber bunyi dari getaran udara. Hampir seluruh seniman tradisi maupun seniman akademisi di Sumatera Barat memanfaatkan instrumen Saluang sebagai media untuk menghasilkan karya seni musik tradisi maupun seni musik modern masa kini. Selain itu pertunjukan musik Saluang sering dipertunjukkan pada perhelatan baralek, atau perhelatan adat istiadat Minangkabau, dan perhelatan-perhelatan pemerintahan.
Begitu banyak seniman tradisi tukang Saluang Minangkabau Sumatera Barat. Salah satu tokoh maestro Saluang Sumatera Barat yang memiliki jam terbang yang tak terhingga baik ditingkat Nasional maupun Internasional ialah Muhammad Halim atau dengan panggilan akrab Mak Lenggang. Mak lenggang lahir pada tanggal 30 Desember 1963 Dilasimudo Kecamatan IV Angkat Andung Kabupaten Agama Sumatera Barat. Mak lenggang mewarisi darah seni dari pihak ibu yang memiliki hobi memainkan Saluang, namun tidak dipertunjukan pada acara perhelatan masyarakat Minangkabau hanya sebatas hobi saja untuk mengisi kekosongan ketika berada di rumah, dijelaskannya.
Jati diri sebagai seniman tukang Saluang telah dirasakan Mak lenggang saat masih dibangku sekolah dasar dengan rasa ingin tahu untuk mempelajari Saluang sejak kelas lima SD. Pada awalnya Mak Lenggang tertarik pada alat musik Sarunai yang terbuat dari batang padi. Ia pun membuatnya sendiri tanpa bantuan orang lain kemudian mempelajari organologi (ilmu mempelajari alat berdasarkan sumber bunyi, cara memainkan, dan fungsinya). Ia mempelajari Sarunai secara autodidak atau keahlian belajar sendiri dari orang-orang tua terdahulu yang berada di Kampungnya. Cara ia belajar ialah melihat dan mendengarkan seniman-seniman itu kemudian mempraktekkannya. Sejak Mak Lenggang merasa mahir dalam membuat Sarunai serta meniup Sarunai dengan teknik salisihhango (meniup panjang tanpa putus-putus) secara autodidak. Ia pun merasa kurang puas sebab nada yang dihasilkan dari permainan Sarunai sangat terbatas, sehingga membuat rasa penasaran terus bertambah ingin mengekplorasi kembali alat musik tiup yaitu Saluang.
Ketika kelas enam SD Mak lenggang mulai tertarik pada alat musik tiup Saluang. Ia pun belajar membuat alat musik Saluang secara autodidak dengan cara melihat dan memperhatikan seniman-seniman Saluang senior yang berada di Nagarinya. Dari situlah ia merasa kecocokan dengan alat musik Saluang. Di mana Saluang dapat menghasilkan tangga nada yang lebih bervariasi bisa diatonis ataupun pentatonis yang berkembang di masyarakat Minangkabau. Namun, Mak lenggang menjelaskan sesungguhnya tangga nada Saluang itu sesuai dengan modal system rasa musikal dari si tukang Saluang bukan tangga nada diatonis dan pentatonis.
Saat ini usia Mak Lenggang lima puluh enam tahun dengan kematangan musikal bermain Saluang. Hal ini terbukti ia masih aktif dalam berkesenian baik sebagai dosen Karawitan di ISI Padang Panjang maupun sebagai maestro musik Minangkabau. Hal ini terbukti eksistensi Mak Lenggang sebagai maestro musik Minangkabau diapresiasi dikalangan akademisi dan dikalangan seniman tradisi di Sumatera Barat. Adapun yang penyebabkan bertahannya eksistensi Mak Lenggang sebagai berikut; konsep musiknya sesuai dengan kebutuhan pertunjukannya. Apabila suatu pertunjukan membutuhkan pertunjukan musik tradisi Saluang Minangkabau, maka ia akan bermain musik tradisi Minangkabau. Namun, apabila suatu pertunjukan membutuhkan penyajian pertunjukan musik eksperimental dan world music maka ia akan menyajikan pertunjukan musik sesuai dengan konsep kebutuhan permintaan si pemilik pertunjukan.
Untuk metode penciptaan konsep musik Mak Lenggang mengadopsi konsep musik minimalis atau musik sederhana, baru dan pengaruhi musik etnis (DieterMack, 2009: 268). Salah satu karya dari berbagai macam karya musik Mak Lenggang ialah musik minimalis yang merupakan karya tugas akhir S2 Penciptaan Seni Musik Nusantara berjudul “sikembar dalam copy’an” pada tahun 2007 di ISI Surakarta. Lahirnya karya “sikembar dalam copy’an” melalui fenomena pengalaman kegelisahan Mak Lenggang bermain Saluang selama pertunjukan bagurau. Di mana tukang dendang yang tidak dapat mengikuti nada-nada tukang Saluang, sehingga tukang Saluang yang selalu berusaha mengikuti nada-nada vokal tukang dendang, dari situlah awal lahirnya karya “sikembar dalam copy’an”.
Setelah fenomena pengalaman kegelisahan tadi, maka Mak Lenggang menentukan ide karya penciptaan musik lalu menentukan tukang atau pemusik sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi kebutuhan pertunjukan musik minimalis. Pertunjukan musik “sikembar dalam copy’an” cukup menarik perhatian penguji sebab Mak Lenggang tampil seorang diri dengan menggunakan proyektor. Rekaman proyektor itu merupakan rekaman vokal dendang Mak Lenggang yang diiringi oleh Saluang Mak lenggang pada saat pertunjukan berlangsung. Peristiwa ini menarik perhatian penguji sebab inovatif, biasanya pertunjukan itu selalu banyak pemusiknya namun ia hanya seorang diri, dijelaskannya.
Sebagai seniman maestro musik Mak Lenggang menyadari bagaimana perkembangan dan kebutuhan musik di masyarakat Sumatera Barat. Maka ia pun harus bisa menyesuaikan pada konsep pertunjukan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seniman itu boleh idealis, namun harus tahu ruang dan waktunya. Misalnya ketika ia diajak oleh teman-temannya bermain musik tradisi maka yang dimainkan ialah dendang tradisi. Namun apabila ia diajak untuk memainkan musik eksperimental atau world music, maka ia meminjam konsep musik Barat dalam pertunjukannya. Selain itu, ia juga sering diajak oleh teman-temannya untuk menciptakan musik tari atau bermain Saluang dangdut.
Sementara dari segi para penikmat penonton pertunjukan permainan Saluang Mak Lenggang pada pertunjukan bagurau mengetahui ciri khas dari karakter permain Saluangnya. Adapun karekter permainan itu seperti baganto-ganto (bercakap-cakap), permainan singkop (ketukan up beat) pada nada Saluang, stakato (serangakain nada pendek-pendek atau putus-putus), dan interlocking (saling menjalin) bersama tukang dendang. Karakter Saluang Mak Lenggang lebih terasa lagi pada sai (sayatan) melodi permainan bunyi Saluang yang paling disukai oleh pendengarnya. Selain itu ada juga penikmat yang lebih menyukai teks dendang sesuai dengan pengalaman pribadi penonton di dalam kehidupan sosial sehari-hari masyarakat Mingkabau. Terkadang ada juga penonton bagurau yang menetiskan air mata selama pertunjukan hal ini disebabkan pesan teks dendang mewakili perasaan si penonton.