Oleh: M Fadil Tegar Syafian, Ketua Komisariat GmnI FH UWKs.
Tulisan ini saya buat atas respon daripada kondisi, dan lingkungan menyebalkan yang ada di kampus tercinta saya. Ada hal yang kopros serta menjijikan yang terus tumbuh bahkan mengakar dari budaya dikampus tersebut adalah keberadaan konflik horizontal antara ormek dan anti-ormek, padahal seharusnya yang terpenting bagi mahasiswa itu bukan background, tapi keberpihakan pada rakyat yang tertindas system, dan sumbangsih akademikmu
Iya benar sekali apa sumbangsihmu? Salah satu issu turunan yang hingga kini memberikan sebuah efek domino atau berkelanjutan yang berujung pada krisis pemahaman dan identitas pada diri mahasiswa itu sendiri?
Mari kita lihat sekali lagi apa esensi daripada Gerakan anti-Ormek ini? Tentunya jika saya melihat malah mereduksi daya kritis dan budaya intelektual yang terbangun, menjadi entitas yang konservatif, kolot, dan juga tradisi intektual. Tradisi intelektual ini mestinya dipahami sebagai upaya mendorong agar mahasiswa tidak berpikir monoperspektif, tapi lebih dari itu secara substasial Ketika dihadapkan dalam suatu problem dapat mengedepankan kehedak dengan pendekan interdisipliner, atau bahkan hingga transdisipliner.
Kemanakah peran anti-Ormek?
Dua hari yang lalu sekitar sore hari, di warung kopi dekat kampus, berdiskusi dengan kating yang sudah akan beranjak untuk menyambut kelulusannya, dia meng-klaim Ketika menjadi mahasiswa bahwa dia ini adalah sipaling anti-ORMEK ya sama denganku juga AO (Anak Ormek) yang dulu Ketika dalam prosesku mengikuti GMNI dialah yang paling sentiment.
Penampilannya necis, retorikanya selalu ngomongin tentang progesifitas, namun sayang sekali bagiku pikirannya konservatif, dan tindak lakunya sama sekali tidak bernyali revolusioner. Tentunya tidak serta-merta ini adalah pendapat subjektifku yang muncul, Ketika Masa ospek atau pkkmb Nampak garang sekali dan begitu seksi gaya bicaranya yang akhirnya mendapatkan perhatian tersendiri bagi Mahasiwa baru kala itu, namun seiring waktu pandangan itu berubah ketika ada beberapa moment yang bersifat mendesak seperti mencuatnya isu Ham seperti wadas hingga rempang, isu politik, SitNas dan sebagainya kok malah terkesan titip absen? Tidak ada kajian strategis, tidak advokasi, atau bahkan sekedar forum dialektis.
Dimana peran mahasiswa anti-ormek yang selalu mengagungkan gerombolan necisnya yang dengan akrab dengan sapaan KAMERADnya itu? Sebaliknya malah mahasiswa yang tergabung korps Pejunang pemikir (GmnI) yang membuat Gerakan preventif secara getol.
Inilah yang terjadi jika seluruh civitas akademika didalam kampus dengan ego dan kekolotannya menolak hadirnya ormek, Ormek selalu membawa beban moril ideologinya karena itu ormek seperti GMNI selalu menjaga tradisi intelektual sebab itu GMNI mengajarkan metode berpikir, mengedeapankan dialektika pemikiran dari bebagai disiplin ilmu, serta pemahaman akan politik, namun dikampus ini tidak sedikit orang yang terkesan alergi dengan istilah politik sehingga yang perlu ditekankan di sini adalah dunia politik tidak melulu mengenai hal-hal yang negatif seperti apa yang telah menjadi stigma masyarakat saat ini. Politik bukan hanya mengenai kekuasaan, kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat dan kegiatan partai politik. Makna politik sangatlah luas dan pemaknaan setiap orang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya pengetahuan dan pengalaman masing-masing orang. Tanpa disadari dalam kehidupan kita sehari-hari terlebih sebagai makhluk sosial tidak lepas dari politik karena interaksi antar manusia memiliki kecenderungan untuk saling mempengaruhi. Adapun contohnya ketika dosen memberikan tugas untuk mahasiswa sebagai pengganti kelas yang kosong dikarenakan dosen berhalangan untuk memberikan materi, maka pemberian tugas tersebut merupakan politik.
Okrober tahun 2018 lalu, Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Pancasila Dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi yang menggantikan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi nomor 26 terbit tahun 2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus, namun hingga kini tidak ada UKM pembinaan Ideologi yang dibentuk oleh kampus sebagai Upaya untuk mencegah pahama ekstremis, dan radikalisme agama.
Jika masih dengan kolot menolak kehadiran ormek apa yang kemudian kita harapkan dari sebuah kampus yang kehilangan tradisi intelektualnya? Kalau tradisi intelektualnya hilang maka idealismenya lenyap tak pernah ada Upaya-upaya untuk melakukan perlawanan atas kekuasaan yang makin dictator, kampus ini manjadi makin sunyi, bahkan kampus kehilangan potensi subversifnya, apa yang membuat kita layak jadi mahasiswa kalau keberanian saja tidak ada?.