Dompu, Siasat.Id – Di pagi yang mendung, saya tancap gas menuju ke Dompu bagian barat. Tepatnya di SMAN 1 Kempo. Dari selatan saya berpacu dengan waktu membelah jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan. Mengambil jalur barat dengan melewati bentangan persawahan, ladang dan kebun di kampung Mbawi sebelum sampai di Kota Dompu.
Di SMAN 1 Kempo, saya bersama Komunitas Jejak Literasi (KJL) akan melakukan sosialisasi lomba menulis essay. Saya tidak datang sendiri, ada anggota KJL seperti pak Ilyas Yasin, pak Mardin, dan bang Teguh selaku lurahnya komunitas ini.
Selain sosialisasi, kami juga melakukan sharing pengalaman bagaimana membangkitkan semangat dan motivasi untuk menulis dan membaca. Karena sejauh ini memang semangat berliterasi di semua lini di bumi Nggahi Rawi Pahu nampaknya masih sebatas jargon saja. Kalau pun ada aktivitas literasi, namun masih sebatas pada kelompok tertentu. Di sekolah memang sudah ada upaya untuk menggairahkan literasi. Hanya saja belum ada karya nyata yang dapat menjadi indikator kemajuan literasi di lembaga pendidikan.
Kami datang memang tidak menggurui dan menawarkan konsep yang ideal. Kami hanya sebatas mengajak untuk melangkah bersama. Saling support dan berbagi pengalaman agar literasi ini segera berkibar lalu mengangkasa dengan karya-karya yang bisa dinikmati oleh semua kalangan. Agar menjadi jejak sejarah bahwa insan Dompu bisa berbuat banyak pada barisan aksara.
Saya sendiri sangat senang dengan adanya aktivitas seperti ini. Sebagai orang yang pernah mengambil jurusan sejarah di perguruan tinggi, menulis merupakan langkah bijak agar sejarah bisa tetap lestari. Dengan menulis orang lain dapat tercerahkan. Dapat menyelam di kedalaman samudera informasi yang disajikan. Bukankah sejarah bangsa dapat ditelusuri dengan adanya tulisan tentang eksistensinya di masa silam.
Selain sharing pengalaman di depan ratusan siswa yang melantai di lapangan sekolah. Saya pun senang mengenal siswi yang bernama Rini, Ajeng, Wardiah dan Farah. Usai sosialisasi, dengan ke empat siswi ini saya terlibat ngobrol panjang kali lebar dengan ragam topik. Saya senang dengan semangatnya yang meluap-luap menanyakan trik memasuki gerbang pekerjaan ketika tamat nanti. Juga pertanyaan tentang literasi dan bagaimana melangkah mewujudkan masa depan agar lebih secerah harapan.
Melihat mereka yang begitu antusias, saya pun tak segan berbagi pengalaman. Tentu saja sesuai rekam jejak saya yang tak pernah mulus dalam mewujudkan harapan. Sebagai orang yang pernah duduk di bangku sekolah, saya sangat memaklumi semua pertanyaan mereka. Jika di nalar secara logika, memang arah hidup ke depan memang cukup mudah diterka.
Usai tamat sekolah biasanya lanjut ke perguruan tinggi dengan mengambil jurusan yang diminati. Setelah selesai lalu mencari pekerjaan. Setelah mapan, menikah, punya anak lalu tua dan berakhir di kuburan. Atau usai menamatkan sekolah langsung mencari pekerjaan. Merantau. Atau bisa juga terlebih dahulu memilih menganggur sembari mencari peluang pekerjaan yang sesuai dan memiliki hasil yang menggembirakan.
Dan yang paling keren bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Menjadi tuan atas usaha sendiri sembari mengumpulkan pundi-pundi uang lalu melancong ke berbagai tempat – tempat wisata yang sedang viral. Sesekali traveling dan berjumpa dengan orang baru, siapa tahu dalam perjalanan itu bisa menemukan jodoh.
Saya kira hidup tidak sesederhana itu. Dulu saya pernah berpikir demikian. Setelah menjalaninya ada banyak hal yang tidak bisa diakomodir oleh logika. Ada hikmah. Ada pelajaran yang dapat dipetik dalam setiap kepingan realitas yang kita jalani. Ada canda tawa. Ada duka lara yang berkelindan saat kita menceburkan diri dalam rimba raya kehidupan ini.
Pada ke empat siswi yang sedang gamang meneropong masa depan ini, saya memberi pesan. Pesan sebagai seorang Kakak pada adiknya. Pada generasi yang membutuhkan asupan informasi sebelum mengayungkan langkah usai tamat sekolah. Sebab jika salah melangkah masih bagus kalau bisa memetik pelajaran pada setiap pilihan yang diambil. Karena tidak sedikit orang langsung terjerambab dalam pusaran masalah dan tidak bisa bangkit kembali untuk melihat harapan baru.
Saya merasa yakin setiap generasi akan menuai tantangannya sendiri. Masalah zamannya sendiri. Maka karena itulah saya hanya menekankan pada karakter dan kedalaman agama jika ingin menceburkan diri dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Jika itu dijadikan pijakan dan landasan, maka paling tidak mereka akan bisa survive pada semua keadaan.
Ingin rasanya berdiskusi panjang dengan ke empat siswi ini. Tapi karena ada satu urusan, maka saya harus segera bergegas. Cepat-cepat balik ke selatan. Karena ada agenda yang membutuhkan saya harus ada di sana. Sebelum benar-benar beranjak, kami saling mendoakan satu sama lain. Selain itu, kami pun menaruh harapan semoga di lain waktu bisa kembali bersua. (Raden’t)