Dompu, Siasat ID – Sebuah desa akan berlindan kisah dan meninggalkan jejak pada warganya seiring dengan berkembangnya zaman. Dinamika dan turbulensinya dengan waktu kadang tidak terhindarkan. Ada yang bisa dikenang, namun tidak sedikit terlupakan dalam lipatan ingatan warganya.
Sebagaimana kisah Desa Cempi Jaya yang pernah menjadi bagian dari Desa Adu belasan tahun silam. Salah satu desa yang menjadi bagian dari Kecamatan Hu’u Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat ini dihuni oleh berbagai latar belakang warganya.
Warganya sangat heterogen dalam pengertian mereka yang mendiami desa ini berasal dari berbagai kampung, baik dari kampung yang berada di Kabupaten Dompu juga tidak sedikit berasal dari Kabupaten Bima. Desa ini mula-mula adalah dusun dari salah satu desa tertua di selatan Dompu yakni Desa Adu.
Setelah memenuhi syarat untuk mekar dan berdiri sendiri, akhirnya menjadi desa yang mandiri secara administrasi. Maka desa hasil pemekaran ini diberi kesempatan untuk mengatur kehidupan rumah tangganya sendiri.
Namun sebagaimana umumnya desa dari hasil pemekaran, tentu saja warganya berasal dari berbagai tempat. Sebut saja beberapa dusun yang merupakan asal muasal warganya seperti Dusun Teta, Dusun Wawo, Dusun Langgudi, Dusun Roi, Dusun Ngali dan Dusun Doro Toi. Terkecuali dusun yang terakhir yang disinyalir berasal dari nama kampung di Kabupaten Dompu, sementara lima dari dusunnya merupakan nama kampung yang berada di Kabupaten Bima. Walau begitu, masyarakatnya sudah membaur satu sama lain yang tidak sepenuhnya mengindentikkan nama kampung asalnya.
Ini menunjukkan masyarakatnya sangatlah ‘heterogen’ karena berasal dari berbagai tempat. Sehingga hal ini sangat mempengaruhi interaksi antar warga di dalamnya. Saling menghormati dan menghargai satu sama lain dalam menumbuhkan kesadaran sebagai warga masyarakat sangat terlihat di desa ini. Jadi tidak ada ungkapan warga asli dan warga pendatang sebagaimana umumnya terjadi wilayah lain.
“Walaupun masyarakatnya dari berbagai desa namun tetap harmonis dan aman. Tidak ada gesekan yang bisa memicu perkelahian massal. Kalau pun ada cekcok, itu cepat diselesaikan dengan cara kekeluargaan” ungkap Ahmad (35) yang berasal dari Kandai Dua Kabupaten Dompu.
Sebagaimana umumnya warga lain, Ahmad tidak lahir dan besar di Desa Cempi Jaya. Ia datang dan tinggal di desa ini karena menikah dengan perempuan yang kini menjadi istrinya yang berasal dari sebuah kampung di Kabupaten Bima.
“Apa yang saya rasakan, demikian pula yang dialami oleh mereka yang baru pertama kali tinggal di desa ini sebelum mereka benar-benar memilih menetap” ujarnya
Hal senada dikisahkan Ibrahim (32) yang orang tuanya berasal dari Desa Teta, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima. Orang tuanya memilih menetap di Desa Cempi Jaya setelah memiliki tanah garapan di desa ini. Ini tidak mengherankan, karena lahan persawahan mengelilingi perkampungan dapat menarik perhatian banyak orang untuk memilih menetap dan beranak pinak di desa ini.
“Setelah melihat lahan pertanian yang cukup luas, orang tua saya akhirnya memilih tinggal dan menetap di sini” terangnya
Bagi Rante demikian dirinya disapa, merasa aman dan nyaman tinggal di desa yang tidak jauh dari pantai Ngampa ini. Menurutnya, kehidupan yang dijalaninya sebagai orang yang berasal dari wilayah lain, tidak lantas membuat dia dan keluarganya di pandang sebelah mata.
Bahkan nampak tidak ada perbedaan dan pandangan sinis dari pihak mana pun selama memilih menetap di desa ini. Terlebih desa yang didiaminya sekarang memiliki beberapa sumber kehidupan yang bisa digarap untuk menunjang ekonomi keluarga dan masyarakat.
“Di desa ini tidak hanya pertanian, peternakan dan perkebunan. Tetapi juga faktor kelautan dan wisatanya yang bisa dikelola sebagai sumber kehidupan warganya. Namun saya dan orang tua masih fokus pada sektor pertanian dan peternakan” ungkapnya (Raden’t)