SURADIN
Penulis Jalanan
Sekitar pukul 06.30 pagi sekolah masih tampak sepi. Hanya beberapa siswa yang baru kelihatan di beberapa pelataran sekolah. Udara masih cukup dingin setelah semalam sekolah diguyur hujan lebat. Airnya masih menyisakan kubangan kecil di beberapa titik di jalan masuk gedung sekolah. Tampak pula security mengatur kendaraan siswa agar terparkir dengan teratur. Beberapa guru juga satu persatu mulai berdatangan.
Hanya hitungan menit, warga sekolah sudah mulai ramai. Tidak ada lagi keheningan dan tergantikan keriuhan di beberapa ruang kelas. Pelataran ruang kelas sudah di penuhi oleh siswa yang menunggu bunyi bel masuk. Ada yang duduk sambil bercerita tentang mata pelajaran. Ada pula yang lari mengejar temannya di ujung kelas. Sementara yang lain sedang sibuk menyapu kelas agar terlihat bersih sebelum guru masuk menyajikan materi.
Namun menariknya, di depan ruang kelas terdapat karung sampah yang sudah di sediakan oleh petugas kebersihan kelas. Tidak hanya satu karungnya, tetapi terdapat tiga. Sampah berupa botol disatukan dalam satu karung. Sementara sampah yang berupa dedaunan dan sejenisnya juga dimasukan di dalam karung yang berbeda. Sampah – sampah ini nanti kalau sudah penuh karung akan disimpan di satu tempat di sekolah, sebelum diangkut oleh mobil pengangkut sampah.
Warga sekolah, terlebih siswa tidak hanya diajarkan bagaimana menjaga kebersihan. Namun juga bisa memilah sampah sesuai peruntukkannya. Jika sebelumnya, sampah dipandang sebagai sumber penyakit yang tidak memberi nilai lebih bagi manusia. Maka sejak di kumandangkan program Zero Waste oleh pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), maka program ini mendapat sambutan antusias oleh beberapa lembaga pendidikan.
Istilah zero waste sendiri digunakan oleh dinas lingkungan hidup NTB sebagai program pengelolaan lingkungan. Tidak terkecuali di lingkungan lembaga pendidikan. Dimana warga sekolah bisa menjaga lingkungan sekolah agar tetap bersih dan bebas dari sampah. Bahkan program zero waste ini merupakan program prioritas pemerintah provinsi NTB dengan target 70% pengelolaan 30 % pengurangan sampah di tahun 2023 nanti.
Sebagai wujud dalam menyambut program pemerintah provinsi, pihak sekolah mengajak warga sekolah untuk tetap konsisten membersihkan sampah di lingkungan sekolah. Tidak hanya di ruang kelas, tapi juga di seluruh lingkungan sekolah. Program mengenai zero waste ini menjadi konsen sekolah yang di pimpin oleh Titin Sumantri, S.S. Sekolah menengah pertama yang berada di selatan Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat ini memang baru pertama kali di pimpin oleh seorang perempuan.
Di beri nama SMAN 1 HU’U, sekolah ini merupakan sekolah tertua sebagai sekolah menengah atas yang menampung anak kampung di wilayah selatan. Namun demikian, sekolah ini telah banyak menelurkan banyak alumni setelah sekian puluhan tahun berdiri. Titin Sumantri selaku orang nomor satu di sekolah, menghimbau dalam banyak kesempatan agar warga sekolah memiliki kesadaran agar untuk menjaga kebersihan sekolah.
“Kalau tidak mampu membersihkan, jangan mengotori,” ucapnya di suatu kesempatan.
Program zero waste memang belum terlalu familiar bagi warga sekolah. Tetapi sebagian siswa sudah memahami pentingnya memilah sampah dan menjaga kebersihkan. Program ini tidak hanya persoalan sampah, tetapi juga membentuk karakter siswa agar terbiasa menjaga kebersihan tanpa di suruh dan diperintah oleh gurunya. Bahkan kebiasaan baik ini bisa menular kepada siswa yang lain, bahkan bisa menular pula kepada keluarganya di rumah.
Seorang siswi bernama Zhohira memandang program dari gubernur Zulkieflimansyah ini memang sangat bagus. Karena menurutnya, siswa diajarkan untuk peduli terhadap lingkungan sekitar. Bahkan program zero waste ini tidak hanya sekedar sosialisasi, tetapi juga langsung dipraktekkan setiap saat. Bagaimana kesadaran untuk berbuat sesuatu demi terjaganya lingkungan sekolah agar tetap asri dan sedap di pandang.
Dirinya merasakan langsung manfaat dari program zero waste di sekolahnya. Kebersihan di lingkungan sekolah terlihat ada perubahan sejak program ini di sosialisasikan. Wali kelas menjadi salah satu garda terdepan memberikan pemahaman kepada siswa di setiap kelas. Selain ada jadwal khusus untuk siswa membersihkan sampah di kelas, juga bagaimana memilih dan memilah sampah.
Selain membiasakan agar siswa menjaga kebersihan, tetapi juga mengubah persepsi warga sekolah untuk memandang sampah tidak hanya sebagai sumber penyakit, tetapi juga bisa mendatangkan cuang. Sampah, terlebih botol-botol sisa makanan bisa dijual kembali ke pengepul. Hasil dari penjualan ini bisa digunakan untuk membeli alat kebersihan, tanpa harus membeli dengan uang dari sekolah.
Program zero waste memang bukan tanpa kritikan, bahkan ada sebagian pihak memandangnya gagal. Hal ini di ungkapkan langsung oleh anggota DPRI Dapil Lombok, Rahmat Hidayat, sebagaimana diberitakan oleh median online, lomboktvnews.com.
Program zero waste gagal, karena masih banyak sampah di mana-mana. Bahkan menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di NTB. Rahmat juga mengatakan, zero waste telah menelan anggaran banyak anggaran, belum terlihat hasilnya.
Program zero waste bisa dinilai memiliki nuansa politik karena menggunakan anggaran negara. Pihak yang tidak senang akan melihatnya dari sudut padang yang kurang bersahabat. Membuka banyak celah dari sisi yang kurang baik. Kelemahan tanpa mengapreasiasi kelebihannya. Hal ini menjadi baik sepanjang dibarengi dengan solusi untuk perbaikan program ini dari waktu ke waktu. Tapi sangat disayangkan jika sekedar melihatnya hanya sudut yang kurang baik saja. Perlu juga mengapreasiasinya dengan memandang keberhasilan yang sudah dicapai.
Memang jika di lihat bahwa program zero waste ini belum benar-benar membumi di lembaga pendidikan. Jika pun ada informasi dan sosialisasi mengenai program ini, namun tidak konsisten dalam implementasinya di lapangan. Masih ada sekolah yang belum memaksimalkan menerapkan program zero waste dengan beragam alasan.
Ada pihak menilai bahwa penyaluran sampah dari sekolah kepihak tertentu tidak maksimal. Fungsi pengontrolan dari pemerintah juga masih belum cukup lemah, sehingga berdampak pada penyaluran sampah yang stagnan. Dan diperlukan pengontrolan yang ketat agar program bisa berjalan maksimal dan memberikan hasil yang maksimal, baik bagi terlaksananya program zero waste, juga dampak positif bagi sekolah dari sisi penghasilannya.