SURADIN
Penulis Jalanan
LELAKI itu memegang tangan anaknya yang masih berusia lima tahun di sebuah pasar. Mereka membeli kebutuhan dapur di pagi buta. Sapuan mentari di ujung timur masih belum keluar dari peraduannya untuk menyapa semesta ketika kaki mereka sudah berkeliling pasar yang tidak seberapa luas itu. Memilih lalu memilah jenis sayuran yang dibutuhkan. Membelinya untuk kebutuhan beberapa hari ke depan. Tak ketinggalan membeli ikan segar yang baru dijajakan oleh penjual.
Usia lelaki itu masih 27 tahun ketika rumah tangganya harus bercerai berai. Wanita yang memberinya anak, telah pergi dengan lelaki lain di tahun sebelumnya. Bercerai. Ketukan palu hakim di lembaga berlabel agama mengakhiri rumah tangga yang pernah di binanya tiga tahun silam. Harapan itu pupus. Digulur sang waktu karena peringai buruk wanita yang harusnya menjadi pendamping hidupnya.
Lelaki itu memilih berpisah. Memilih membesarkan anak, tanpa ibunya. Tak apa. Itu lebih baik dari pada mempertahankan mahligai rumah tangga yang tidak harmonis. Percuma dirinya mencari nafkah, sementara istrinya bercinta dengan lelaki lain. Selingkuh. Di tambah lagi, istrinya yang suka menentang dan tidak jarang memuntahkan sumpah serapah tanpa alasan.
Tidak berhenti sampai di situ. Ketika terjadi cekcok dalam rumah tangganya, istrinya bahkan sering menghujat dan menyeret nama orang tuanya. Maka dengan segala pertimbangan, ia pun akhirnya menceraikannya di meja hijau. Bukan meja biru. Wanita itu bukan wanita sholeha seperti yang dinyanyikan oleh bang Haji Rhoma Irama. Sehingga saat ini, dirinya dengan sabar membesarkan anak semata wayangnya.
Mantan istrinya kini telah berstatus janda. Sempat menikah dengan lelaki pujaannya, namun tidak bertahan lama. Hanya kurang dari satu tahun, akhirnya diceraikan lagi. Kembali menjanda. Bahkan hanya berselang dua tahun usai bercerai dengan suami pertamanya, ia sudah tiga kali menikah dan tidak pernah bertahan dalam kurung waktu yang lama.
Bagaimana mungkin lelaki bertahan dengan peringai wanita seperti dirinya. Dengan peringai buruk yang suka menumpahkan umpatan dengan kata-kata yang kasar. Sementara pelayanan terhadap suaminya tidak begitu maksimal. Dirinya hanyalah istri rumahan yang tidak memiliki keterampilan untuk menunjang ekonomi keluarga. Sementara untuk menjadi seorang istri yang baik, tidak dipahaminya dengan baik.
Ia tipe wanita yang banyak menuntut. Menuntut suaminya agar selalu membawa segepok uang setiap pulang kerja. Curiga yang berlebihan pada sang suami. Suka marah-marah hanya karena persoalan sepele. Mungkin itulah alasan kenapa lelaki hanya menjadikannya sebagai sandaran sesaat, lalu pergi meninggalkan luka.
Mestinya ia bermuhasabah. Introspeksi diri. Tidak hanya dirinya yang ingin di mengerti, disayangi dan dipahami. Suaminya pun juga membutuhkan hal yang sama walau frekuensinya yang berbeda. Laki-laki juga manusia biasa yang juga memiliki perasaan. Sebab, hidup berumah tangga bukan untuk penyatuan karakter yang berbeda, tapi saling memahami karena adanya perbedaan.
Kini dirinya kembali menyandang status janda. Pengembaraannya terhadap lelaki seperti yang diinginkannya belumlah selesai. Ia tetap percaya diri, walau berstatus janda. Dengan kemolekan tubuh, serta raut wajah yang glowing, ia yakin pasti mendapatkan mangsa baru. Mungkin tak pernah terpikirkan olehnya, bahwa perburuan seperti itu tanpa melakukan introspeksi diri, maka akan berakhir dengan kegagalan. Sia – sia.
Hanya lelaki liar yang menginginkan wanita seperti dirinya. Itu pun datang sesaat melampiaskan shahwatnya lalu pergi mencampakannya. Menikmati tubuhnya putih lalu meninggalkannya dalam keadaan terhina.
Janda seperti dirinya tidak layak dijadikan pasangan hidup. Karena hidup berumah tangga harusnya saling menjaga satu sama lain. Saling mengerti dengan tidak memaksakan kehendak. Egois. Karena seorang istri harusnya manut jika memahami kedudukannya dalam hidup berumah tangga. Sepanjang suaminya tidak melakukan kekerasan fisik, dan tetap menafkahinya. Lahir maupun batin.
Wanita itu tampaknya merusak citra janda. Karena tidak semua janda memiliki peringai buruk seperti dirinya. Bahkan dalam anjuran agama, menikahi janda serupa sedang berjuang di jalan tuhan. Status janda bukanlah aib yang harus dilecehkan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena tidak semua wanita menginginkan dirinya menyandang status janda.
Janda juga manusia yang memiliki peluang untuk bisa berkembang dalam bidang kehidupan apa pun. Hanya saja, stereotip dalam masyarakat ketimuran memiliki pandangan yang kurang bersahabat terhadap wanita yang berstatus janda. Sementara status janda tidak selamanya pilihan. Karena ada di antaranya karena telah di tinggal mati oleh sang suami tercinta.
Bahkan tidak sedikit cerita heroik janda yang mampu membesarkan anak-anaknya hingga menggapai tangga kesuksesan. Dengan semangat 45′ dan upaya membangun kehidupan setelah di tinggal pergi oleh sang suami memang bukanlah perkara mudah. Di butuhkan kesabaran, semangat yang tak boleh padam. Bahkan harus menahan godaan lelaki hidung belang yang suka mencari mangsa.
Ingat, menikahi janda bukanlah aib dan tidak perlu malu. Namun sebelum memilihnya sebagai pasangan hidup, diperlukan untuk mengetahui rekam jejaknya, supaya tidak mengalami nasib yang naas seperti lelaki yang dikisahkan di atas. Karena kadang, janda memang mempesona dan menggairahkan. Namun jangan lupa dengan perangainya.
Tetaplah berprasangka baik terhadap siapa pun. Termasuk terhadap mereka yang berstatus janda. Karena mereka sama dengan kita. Sama-sama ciptaan tuhan. Karena belum tentu kita yang memandang rendah orang lain, lebih baik dari yang direndahkan.
Hiduplah sewajarnya, sembari bersyukur pada pemilik semesta. Namun adakah janda yang siap menemani penulis akhir tahun ini? Hehe