SURADIN
Penulis Jalanan
Perhelatan pesta demokrasi mulai berdengung. Para calon legislatif dan eksekutif mulai di gadang-gadang. Beberapa nama mulai di rilis. Para pengamat tidak kalah heboh menganalisis para calon.
Mesin politik mulai di panaskan. Partai politik menghangatkan komunikasi, baik internal partai maupun eksternal demi mengharapkan tambahan kekuatan. Semua simpul dimobilisasi. Di aktifkan kembali, mulai dari tingkat bawah hingga pusat. Simpatisan dibentuk. Slogan dibuat sebagai simbol. Atribut sebagai identitas mulai di rilis. Tagar mewarnai media sosial. Buzzer mulai aktif.
Semua calon yang digadang-gadang mulai peduli rakyat dalam diksi-diksinya. Mereka berebut panggung untuk sering tampil serupa juru selamat di tengah himpitan ekonomi dan ketidak pastian arah bangsa di masa mendatang. Para calon ini laksana dewi fortuna yang hadir memberi kemenangan pada kemelaratan masyarakat selama ini.
Para calon ini menjanjikan banyak hal. Bahkan narasi yang pernah disampaikan oleh mereka yang pernah duduk manis di kursi legislatif dan eksekutif sebelumnya, di ulang kembali. Namun, dari sebagian mereka yang pernah di beri amanah itu menjadi penghianat rakyat dengan merampas hak rakyat dengan mengkorupsi uang negara. Dulu, mereka juga menjanjikan banyak hal. Tapi karena nyaman berada di lingkaran kekuasaan, mereka lupa akan janjinya.
Mereka nyaman di ruang ber-AC. Kemana-mana menggunakan mobil kantor tampah harus mengeluarkan uang sendiri untuk ongkos perjalanan. Mereka mengutamakan keluarga dan kepentingannya kelompoknya, tanpa pernah ingat akan janji politiknya terhadap rakyat. Mereka munafik kalau tidak ingin disebut penghianat rakyat.
Fenomena politisi seperti ini sudah tidak asing di negeri yang belum benar-benar ‘merdeka’ ini. Hal ini diperparah lagi dengan rakyat yang belum benar-benar mampu memilah dan memilih calon pemimpin yang betul-betul peduli terhadap kepentingan hajat hidup orang banyak. Namun beruntungannya, warga +62 tetap melangitkan optimisme setiap pesta demokrasi akan lahirnya calon pemimpin yang amanah.
Itu pula yang mendasari seorang yang mengaku dirinya tokoh masyarakat di sebuah kecamatan di kabupaten Dompu bagian selatan. Sebuah kabupaten yang berada di tengah Pulau Sumbawa yang di zaman penjajahan masuk dalam wilayah Sunda Kecil. Dalam politik, wilayah selatan ini tidak banyak menempatkan wakilnya di legislatif. Paling mentok satu orang saja, itu pun harus bersaing dengan para calon legislatif yang datang dari kota lalu mengobral janji sampah setiap mendekati pemilihan.
Sebagai orang yang berdomisili dan mengetahui cultur masyarakat setempat dia merasa percaya diri memenangkan kontestasi politik beberapa tahun mendatang. Ia memetakan kekuatan. Membangun pencitraan dengan mendatangi warga di kampung. Pura-pura belajar mendengar keluhan warga, lalu meyakinkan dengan janji. Belakangan ini waktunya hanya dihabiskan berseliweran ke kampung-kampung. Sok peduli.
Ia tampak serius dan sungguh-sungguh. Baginya tidak ada kerja keras yang sia-sia. Semua akan membuahkan hasil. Setiap pantangan di nikmatinya sebagai pelajaran politik. Semua orang di sapa. Senyum mengembangan. Ia baru belajar politik. Cara-cara politisi sebelumnya di copy paste. Tidak ada yang orisinalitas dengan caranya berpolitik. Metodenya usang, jika tidak ingin disebut basi.
Dia tidak memiliki penasehat politik yang bisa memberikannya arahan seperti apa seharusnya ia bertindak jika ingin mencitrakan diri di depan publik. Setiap pertemuannya dengan rakyat dimana pun ia berkunjung selalu dipostingnya di beranda facebooknya. Ia bahkan tidak segan-segan mengklaim dukungan tanpa hasil observasi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan.
Ia tampak optimis, namun tidak realistik. Dalam politik semua calon bisa saja memiliki segalanya. Uang. Ketenaran. Keturunan. Team sukses walau kadang tidak membawa orang sukses. Tapi jangan lupa, faktor keberuntungan juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Walau politik adalah dunia yang menggiurkan tapi juga sangat kejam dan membunuh. Sebab, tidak kawan yang benar-benar kawan, karena semua dihitung berdasarkan kalkukasi kepentingan.
Sebagai politisi pemula, yang dilakukannya tidaklah sepenuhnya salah. Ets…. dalam politik tidak di kenal salah benar. Apa lagi etika dan sopan santun. Itu hanya berlaku dalam mata pelajaran agama di sekolah. Di dalam dunia politik kita, yang benar-benar sahabat yang baik adalah kepentingan, yang lain hanya bualan sampah di warung-warung kopi. Semua harus diperhitungkan dengan matang sebelum benar-benar gosong.
Pasalnya masyarakat kita tidak sepenuhnya pemilih rasional. Umumnya pragmatis, kalau tidak ingin di sebut oportunis. Politik uang yang menjadi buah bibir di kala perhelatan pesta demokrasi bukan sepenuh hoax. Masyarakat memandang pesta demokrasi dalam setiap jenjang, serupa lahan gembur untuk memanen rupiah. Apa lagi di masa sulit seperti saat musim tanam dan kebutuhan ekonomi yang menghimpit.
Masyarakat tidak peduli janji politik. Rekam jejak para calon. Apa lagi gelar dengan intelegensi yang diakui di ranah akademik. Itu tak terlalu penting bagi masyarakat. Siapa yang mampu bayar berapa itu yang akan dicoblos. Di pilih. Urusan nanti ketika terpilih merealisasikan janji atau tidak itu persoalan lain. Yang terpenting saat ini dapurnya bisa mengepul. Obat untuk tanaman di sawah dan ladang bisa dibeli walau itu dengan menggunakan uang dari pemburu suara.
Tidak semua masyarakat. Sepakat. Masih ada calon memilih yang mempertimbangkan kecerdasan serta rekam jejak calon pemimpin. Golongan ini adalah pemilih yang memilah sebelum memilih. Baginya, suaranya sangat penting dan dapat menentukan nasib daerahnya lima tahun ke depan. Menjual suara tanpa ada pertimbangan, serupa melempar sesuatu di malam yang gelap gulita tanpa tahu tujuan yang jelas.
Dan yang tak kalah penting, menjadi politisi tidak boleh baper alias bawa perasaan. Setiap kritikan harus dinilai sebagai cambukan penyemangat untuk bisa membuktikan kata-katanya. Ia harus menjadi pembeda dari para politisi pada umumnya.
Dalam segala hal? Ia dalam segala hal.
Terlebih lagi kemampuan merealisasikan janji – janji politiknya serta mampu merangkul para pengkritik dan pembencinya. Karena yang demikian tidak banyak politisi bisa lakukan.
Ingat, jadi politisi jangan baperan. Sebab, selama Anda menjabat selama itu akan di sorot. Karena uang yang engkau makan dari gajimu. Kendaraan dinas yang engkau gunakan adalah buah dari keringat, petani, nelayan, tukang ojek serta kaum marjinal lainnya.
Kalau Anda terpilih nanti, janjimu tidak hanya ditagih di dunia, tapi juga di akherat kelak. Begitu kata ustadz di Youtube. Kalau tidak percaya, nonton dulu Youtube sebelum menjadi politisi.